Terkait ramainya pesta demokrasi rakyat indonesia sekarang, Indonesia seperti dibelah dua antara pendukung calon presiden (capres) nomer urut satu dengan capres nomer urut dua. Awalnya sih seru melihat kedua kubu saling menunjukkan dukungannya di social media… dari lagu lagu kreatif, klip lucu di vine, youtube, dan lain lain. Inilah demokrasi yang kita banggakan dari indonesia. Sebagai mantan mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, saya lebih bangga lagi.
Tapi makin hari kampanye para pendukung ini makin banyak negatifnya daripada positifnya. Kalau stasiun TV nasional aja sudah terlihat jelas keberpihakannya, portal berita di indonesia mendadak buanyaaak banget yang mendadak muncul dan mengeluarkan ‘fakta’ versi mereka. Kompasiana yang menampung tulisan dari individu manapun juga jadi kolam limpahan tulisan dari mereka yang beropini atau memaparkan dakwaan mereka. Ada yang punya data peningkatan tulisan politik di kompasiana pas pemilu ini ngga? Mau doong..
Dari awalnya kesel baca berita yang jelas-jelas bohong, sampai akhirnya eneg tiap baca black campaign ini. Yang lebih eneg adalah sumber berita yang bawa-bawa agama tapi beritanya sama sekali ngga bisa dipertanggungjawabkan.
Kenapa tulisan ini muncul? Kan ini harusnya mengenai si bola lonjong ajaa!!
Eh baiklah, tulisan ini mencoba mengingatkan kita bahwa kita harus coba bawa semangat sportifitas kedalam euforia politik kita saat ini. Kebetulan sekarang lagi ada turnamen bola bulet antar negara itu kan? Kalau Piala Dunia sih tahun 2015 di Inggris. #keukeuh #bukananakbola #rugbyworldcup
Ada banyak hal yang bisa kita pelajari mengenai semangat sportifitas. Disaat ada dua individu atau team sedang bertanding, sudah pasti akan ada pemenangnya. Tapi olahraga memiliki batasan yang lebih unik, dimana semangat seorang olahragawan dilindungi oleh ‘kode etik’ mereka yang menahan mereka untuk tidak berbuat curang. Kode ini diajarkan dari dasar setiap olahraga dan melekat kuat di jiwa mereka. Untuk seorang yang mendalami beladiri, ini lebih mendasar lagi. Penguasaan diri mereka harus diatas segalanya.
Rugby? Rasanya kode etiknya sama atau mungkin lebih kuat daripada beladiri. Dengan disiplin yang kuat, kita menganggap semua musuh di lapangan akan menjadi saudara setelah pertandingan. Bahkan di game Rugby itu sendiri, setelah melakukan tackle, sering saya lihat atau rasakan yang melakukan tackle akan membantu lawan yang ditackle untuk kembali bangun dan meneruskan pertandingan bersama.
Rasanya, kata yang paling menggambarkan sifat ini adalah sifat Ksatria. Ayah saya sering mengajarkan sifat ini saat di rumah dan di lapangan Karate. Ksatria yang bisa saling menghargai lawannya, tidak berbuat curang dan menerima dengan lapang dada saat menerima kekalahan.
Pembelajaran demokrasi di Indonesia memang sedang diuji, dan saya yakin semua insan olahraga bisa membantu memberikan pembelajaran sportifitas dan sifat ksatria kepada rakyat Indonesia. Jangan harapkan media, jangan salahkan pemerintah apalagi kedua capres yang sedang bertarung. Apabila kita hendak ikut terlibat, mohon tanamkan sifat ksatria dulu ya teman-teman..
Demokrasi memang penting, namun sifat Ksatria kita perlu ditingkatkan lagi..
Ayo main Rugby!